KLOJEN - Perwakot Nomor 5/2009 Tentang Tarif Angkutan yang dikeluarkan 29 Januari lalu ternyata kurang bertaji. Tarif mikrolet yang disepakati, yakni Rp 2.300 untuk umum dan Rp 1.500 untuk pelajar, belum sepenuhnya dipatuhi para sopir. Bahkan, tarif tetap bertahan di angka sebelum penurunan, yakni Rp 2.500 untuk umum dan Rp 1.700 untuk pelajar.
Bukan itu saja, stiker pengumuman tarif baru yang disebar untuk 2.000 mikrolet juga tak mempan. Fakta di lapangan, banyak stiker sobek. Padahal, stiker itu baru diproduksi dishub awal Februari lalu. "Tiap hari saya naik mikrolet . Bayar Rp 2.500 tidak pernah ada kembalian. Sopir juga diam saja," ujar Siti Khotijah, salah satu warga Polowijen.
Padahal, lanjutnya, di dalam mikrolet yang ditumpanginya tertempel stiker yang menyosialisasikan tarif baru. "Sebenarnya kehilangan Rp 200 tidak masalah. Tapi kalau sudah jadi aturan, mbok ya dipatuhi," kata dia.
Andik, salah satu sopir jalur AG mengatakan, aturan tarif baru itu memang tidak disosialisasikan secara langsung kepada penumpang. Keberadaan stiker dianggap mewakili para sopir. Sehingga dia tidak perlu lagi woro-woro soal tarif terbaru. "Semua kan sudah tahu, harusnya membayar dengan uang pas. Meski begitu kami juga menyediakan uang receh," kata dia.
Tapi, lanjut Andik, jika ada penumpang yang membayar Rp 2.500 dan tidak meminta pengembalian, maka dia juga tidak memberikan kembalian. "Saya menganggapnya mereka ikhlas. Tapi banyak juga yang membayar kurang, seperti para pelajar. Ada yang membayar Rp 1.000 kami biarkan saja," bebernya.
Menyikapi persoalan itu, Kadishub Pemkot Malang Pait Al Wiyono mengatakan, pihaknya akan terus melakukan pantauan bersama tim dishub. Apalagi sosialisasi tarif baru itu telah dilakukan serentak 2-4 Februari lalu. Pengawasan terpadu juga akan dilakukan di seluruh terminal, kawasan keramaian, dan laporan masyarakat. "Kalau benar para sopir belum menerapkan tarif baru, maka sanksinya kena tipiring (tindak pidana ringan) dengan sistem denda," ancam Pait.
Terpisah, Wali Kota Malang Peni Suparto menambahkan, selama ini pemkot hanya berwenang menerbitkan aturan. Soal pengawasan sepenuhnya diserahkan pada SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait. Dalam hal ini dishub. "Urusan di lapangan, apakah aturan itu ditaati atau tidak, kami kembalikan pada mekanisme masyarakat," tandas Peni. Jika masyarakat ingin mendukung perwakot 5/2009, lanjut Peni, maka sebisa mungkin mengikuti aturan yang ada.
This entry was posted
on Sabtu, 14 Februari 2009
at 20.47
. You can follow any responses to this entry through the
comments feed
.